Siapa yang berani membantah kita dilahirkan dalam wujud bayi merah? Siapa yang menyangkal ketika bayi, kita adalah manusia lemah, tak berdaya dan selalu bergantung pada orang lain? Tak ada kesombongan, belagu, sok-sokan atau suka pamer.
Mau minta susu, harus nangis. Minta makan, nangis. Tak ada yang bisa dilakukan tanpa menangis. Semuanya tergantung pada orang lain. Semuanya terserah orang yang lebih dewasa. Benar-benar tak bisa berbuat apa-apa.
Sayangnya ketika kita dewasa, semua kerendahhatian, semua ketidakmampuan, semua ketergantungan kita, seringkali lenyap. Kita merasa bisa melakukan semuanya dengan sempurna bahkan mungkin tanpa bantuan orang lain. Kita tiba-tiba menjadi berdaya, merasa tegar dan tak perlu harus menangis ketika menginginkan sesuatu. Semuanya bisa teratasi [sendiri].
Tiba-tiba kita lupa, bahwa kita pernah menjadi bayi yang lemah. Kita lupa bahwa kita pernah ditolong orang lain untuk minum susu. Kita lalai bahwa kita pernah bergantung pada orang lain. Kita benar-benar menjadi orang yang [merasa] luarbiasa mampunya.
Dan ketika terjatuh, kita baru teringat pernah menjadi bayi merah yang lucu. Ketika kita “disengsarakan” orang lain, kita baru sadar pernah bergantung pada orang lain. Terlalu banyak yang kita lupa, sehingga belajar menjadi bayi merah ketika kita sudah [merasa] dewasa pun terabaikan. Ataukah kita lahir langsung menjadi dewasa, sehingga tak mengenal arti kelemahan dan ketidakberdayaan?
Dikutip dari: http://moer.multiply.com/journal/item/113
Dikutip dari: http://moer.multiply.com/journal/item/113
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER
0 Response to "FILOSOFI BAYI MERAH"
Posting Komentar