Usia  ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu  mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk  belanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu,  ayah sendirian dikampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang  bergiliran menjenguknya.
Kami  semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk  Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih  besar. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya  mengajaknya tinggal bersama kami di KualaLumpur.
“Nggak  usah. lain kali saja.!”jawab ayah. Jawaban itu yang selalu diberikan  kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau  menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik.  Ada-ada saja alasannya.
Suatu  hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan  sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan  bersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta  pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. “Saya  sibuk, ayah. tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir minggu  ini saya akan antar ayah,” balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk  kakek mereka. “Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong  belikan tiket bus saja yah.” katanya yang membuat saya bertambah kesal.  Memang ayah pernah berkali-kali pulang naik bus sendirian.
“Nggak  usah saja yah.” bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk  kekamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke  kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus.  “Ayah ini benar-benar nggak mau mengerti yah. saya sedang sibuk,  sibuuukkkk!!!” balas saya terus keluar menghidupkan mobil.
Saya  tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya.  Di dalam mobil, istri saya lalu berkata, “Mengapa bersikap kasar kepada  ayah? Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia.!” Saya terus membisu.
Sebelum  istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi  permintaan ayah. “Jangan lupa, Pa.. belikan tiket buat ayah,” katanya  singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin  untuk keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.
Pk.  11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. “Bus  berangkat pk.14.00,” kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap  agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala ayah.  Ayah tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunya  kedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak  berbicara sepatah kata pun.
Saat  itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.!  Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya  Pamit dan terus turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya  memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke  mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang  di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan  teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke  kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak  minta apa pun.
Saya  lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat  pekerjaan dikantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri  yang berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego  saya saat istri meminta saya menelpon ayah di kampung seperti yang  biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. Malam berikutnya,  istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. “Nggak mungkin  belum tiba,” jawab saya sambil meninggikan suara.
Dini  hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. “Ayah  sudah tiada.” kata sepupu saya disana. “Beliau meninggal 5 menit yang  lalu setelah mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi.” Ia lalu meminta  saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan  gagang telepon masih di tangan. Istri lalu segera datang dan bertanya,  “Ada apa, bang?” Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru
bisa berkata, “Ayah sudah tiada!!”
Setibanya  di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat Itu saya  sadar betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang,  kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri  mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.
Hanya  Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya  sangat merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya  mencurahkan perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang  sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan  perasaan seorang tua yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya  sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.
Sekarang  5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai  terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat  menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir  saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan  diri ini.
Benar  kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih  hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti  lagi.
Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka. Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu
Source: http://terimakasihibu.blogspot.com/2011/03/senangkan-orang-tua-semasa-hidup.html 
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

0 Response to "Senangkan orang tua semasa hidup"
Posting Komentar