Ilmu Saraf Insting: Bagaimana Hewan Menanggapi Rasa Takut dalam Mendapatkan Makanan


 "Sama seperti menyeberang jalan, secara otomatis kita cenderung menimbang faktor aman. Melalui amigdala, kita secara naluriah tahu apa yang membuat kita aman."

Saat menyeberang jalan, kita melihat ke kiri dan kanan. Kita akan tetap berada di trotoar jika melihat ada mobil yang mendekat dan melaju cukup cepat untuk menabrak kita sebelum bisa mencapai seberang. Ini adalah keputusan yang hampir otomatis, seakan secara naluriah kita tahu bagaimana menjaga diri kita untuk tetap aman.
Kini, ahli saraf telah menemukan bahwa hewan lain pun mampu membuat keputusan naluriah sejenis untuk keselamatan. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan online dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, minggu 29 November, peneliti dari Universitas Washington, Jeansok Kim, menunjukkan bahwa tikus menimbang peluang aman mereka jika mengambil makanan pelet yang ditempatkan pada jarak bervariasi dari lokasi predator.
“Ketika hewan mencari makanan, mereka mengambil risiko,” kata Kim, seorang profesor psikologi UW. “Mereka meninggalkan sarang mereka yang aman, bertualang ke tempat yang mungkin terdapat predator yang bisa memangsa mereka.”

Tapi untuk tetap tinggal di sarang juga bukanlah pilihan aman yang baik, tikus harus keluar dan mencari makanan. Bagaimana mereka memutuskan apakah aman untuk meninggalkan sarang? Kim beserta rekan penulis, Juni-Seek Choi, seorang profesor tamu di jurusan psikologi UW dari Universitas Korea, mempelajari bagaimana amigdala – yaitu, wilayah otak yang dikenal penting untuk mengamati dan bereaksi terhadap rasa takut – terlibat dalam keputusan tikus untuk mengambil risiko demi makanan.
Kim dan Choi melatih tikus-tikus jantan untuk mengambil makanan pelet yang ditempatkan di berbagai jarak dari zona aman, atau sarang. Tikus-tikus ini dibiarkan kelaparan dengan membatasi suplai makanan selama beberapa hari, dan kondisi ini membuat mereka cepat belajar untuk mengambil makanan pelet. (Untuk melihat video tikus-tikus yang mencari makanan, perhatikan “Foraging baseline day 5″:http://faculty.washington.edu/jeansokk/Robogator.html).
Para peneliti mempersiapkan “predator”, sebuah robot berbentuk buaya yang diprogram untuk mencapitkan rahangnya dan bereaksi terhadap tikus. Dengan tubuhnya yang terbuat dari balok LEGO abu-abu dan taringnya dari LEGO oranye terang, LEGO Mindstorms Robogator ini berukuran sekitar dua kali lipat dari ukuran tikus. Para peneliti merancang robot ini untuk bergerak maju sekitar 9 inci, membuka dan menutup mulutnya, lalu kembali ke tempat peristirahatan yang jauh dari sarang tikus.
Setelah meletakkan robot itu pada tempatnya, tikus-tikus mulai mencari makan seperti biasa. Ketika mereka mendekati makanan, Robogator bergerak cepat ke arah tikus dan mencapitkan rahangnya. Tikus bergegas kembali ke sarangnya yang aman dan kemudian sejenak membeku – merespon rasa takut yang bersifat khas ini.
Masih lapar, tikus berjalan mondar mandir di dalam area sarang, tersembunyi dari Robogator (lihat video“Robot encounter day 1: Pre-amygdalar lesion”:http://faculty.washington.edu/jeansokk/Robogator.html). Perlahan-lahan mereka kembali muncul, dan dengan hati-hati mendekati makanan. Namun, Robogator lagi-lagi bergerak agresif setiap kali tikus mendekati pelet. Kebanyakan tikus belajar bahwa mereka bisa aman jika mengambil pelet makanan yang berada pada jarak terdekat, sekitar 10 inci dari sarang dan tidak berpapasan dengan jalur robot. Tak satu pun dari tikus-tikus ini yang mendapat pelet di lokasi dekat Robogator, sekitar 30 inci dari sarang.
Kim membandingkan proses pengambilan keputusan tikus ini dengan masalah matematis klasik yang diperlukan saat dua kereta berangkat pada waktu yang berbeda, dari tempat yang berbeda, dan melaju pada kecepatan yang berbeda, akan berpapasan satu sama lain. Dengan adanya predator, tikus mengukur seberapa cepat mereka bisa berlari ke arah makanan, seberapa cepat predator bergerak dan seberapa jauh letak pelet dari tikus dan dari predator. Jika dinilai ada peluang tikus dan robot akan saling bertemu, maka mereka tidak akan berusaha untuk mengambil makanan tersebut.
“Sama seperti menyeberang jalan, secara otomatis kita cenderung menimbang faktor aman,” kata Kim. “Saya pikir, kebanyakan hewan memiliki kemampuan ini dalam sistem sarafnya. Melalui amigdala, kita secara naluriah tahu apa yang membuat kita aman.”
Amigdala yang terlalu aktif berkaitan dengan gangguan kecemasan (anxiety disorders) dan ketakutan irasional, atau fobia, pada manusia, kata Kim. Pencitraan otak menunjukkan adanya peningkatan aktivitas amigdala pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca-trauma. Sedangkan amigdala yang kurang aktif bisa dikaitkan dengan pengambilan risiko dan perilaku impulsif.
Untuk studi pada tikus ini, para peneliti kemudian sengaja membuat kecacatan pada amigdala tikus, dan sekali lagi mengamati interaksi berikutnya antara tikus dan robot. Tikus yang amigdalanya cacat sama sekali tidak terganggu oleh Robogator. Ketika makanan ditempatkan di dekat predator, tikus ini malah berlari lurus ke arah makanan itu, hampir tidak berkedip ketika Robogator menerjang dan membentak (lihat video “Robot encounter day 2: Post-amygdalar lesion”:http://faculty.washington.edu/jeansokk/Robogator.html). Hal yang sama terjadi pula ketika para peneliti tidak mengaktifkan amigdalanya dengan kimia muscimol.
Sebaliknya, saat Kim dan Choi meningkatkan aktivitas amigdala, tikus menunjukkan rasa takut yang lebih besar. Bahkan sekalipun makanan diletakkan pada jarak yang aman dari robot. Tikus yang diberibicuculline – yaitu, obat untuk meningkatkan aktivitas saraf – terlalu takut untuk menghampiri pelet tersebut.
“Karena fitur manusia banyak berbagi biologis dan perilaku dengan hewan, studi eksperimen dengan tikus ini memberikan informasi yang berharga terhadap pemahaman fisiologis serta aspek-aspek psikologis rasa takut,” kata Kim.
Studi ini didanai oleh National Institutes of Health, National Research Foundation of Korea Grant, Ministry of Education, Science and Technology dan Seoul Broadcasting System Foundation.
S
umber artikel: Neuroscience of instinct: How animals overcome fear to obtain food (eurekalert.org)
Kredit: University of Washington
Informasi lebih lanjut:
June-Seek Choi, Jeansok J. Kim. Amygdala regulates risk of predation in rats foraging in a dynamic fear environmentPNAS, November 29, 2010 DOI: 10.1073/pnas.1010079108


0 Response to "Ilmu Saraf Insting: Bagaimana Hewan Menanggapi Rasa Takut dalam Mendapatkan Makanan"

Posting Komentar