BAB I
PENGERTIAN, TUJUAN, ASAS JENIS
EVALUASI BELAJAR
Dilingkungan sekolah, kita melihat pula bahwa pada waktu-waktu tertentu guru selalu mengadakan evaluasi. Kenyataan yang biasa dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia sampai dewasa ini ialah bahwa pada akhir semester guru mengadakan ulangan-ulangan, pada akhir tahun mengadakan ujian-ujian kenaikan kelas, dan pada akhir kelas tertinggi pada setiap taraf atau level pendidikan, sekolah mengadakan ujian akhir (Evaluasi Belajar Tahap Akhir). Ulangan, ujian kenaikan kelas, dan evaluasi belajar tahap akhir tadi, merupakan contoh tentang evaluasi yang lazim dilaksanakan di setiap institusi pendidikan.
Kita sebagai guru umumnya memahami bahwa pendidikan adalah merupakan proses melakukan perubahan pada diri siswa. Atau secara definitif dirumuskan, bahwa pendidikan adalah “usaha sadar yang dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan siswa di dalam dan di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup”.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, kita sebagai guru berharap agar setiap program pengajaran, setiap mata pelajaran, dan bahkan setiap unit pelajaran yang kita sajikan dapat membawa perubahan yang berarti bagi diri anak didik. Siswa seharusnya mengalami perubahan perilaku setelah mengikuti pelajaran. Dan seharusnya ada perbedaan perilaku antara mereka yang mengikuti pelajaran suatu unit pelajaran atau suatu program pengajaran dengan yang tidak semestinya. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa suatu program pengajaran akan menghasilkan perubahan yang sama pada setiap siswa yang mengikutinya. Usaha untuk mengetahui ada dan tidaknya perubahan, atau tingkat perubahan yang terjadi pada diri siswa inilah yang termasuk dalam kawasan evaluasi.
Dalam hubungan ini, kita sekarang ingin menyoroti hal-hal yang berkenaan dengan evaluasi, khususnya dalam kontek dengan proses belajar mengajar, yang dilaksanakan di sekolah. Karena evaluasi merupakan salah satu proses dalam pengajaran, yang dalam batas-batas tertentu dapat merupakan indikator yang mempengaruhi perubahan perilaku siswa.
Istilah evaluasi atau penilaian adalah sebagai terjemaban dari istilah asing “evaluation”. Dan sebagai panduan, menurat Benyamin S. Bloom (Handbook on Formative and Sumative Evaluation of Student Learning) dikemukakan, bahwa:
“Evaluasi adalah pengumpulan bukti-bukti yang cukup untuk kemudian dijadikan dasar penetapan ada tidaknya perubahan dan derajat perubahan yang terjadi pada diri siswa atau anak didik”
Apabila alur fikiran yang terkandung dalam definisi itu kita ambil sebagai pegangan, maka logis apabila kita bersikap, bahwa dalam melakukan evaluasi kita sebagai guru harus yakin bahwa pendidikan dapat membawa perubahan pada diri siswa. Oleh karena itu dalam kegiatan evaluasi kita harus melakukan setidak-tidaknya dua hal yaitu:
1) Mengumpulkan bukti-bukti yang cukup;
2) Menetapkan ada tidaknya perubahan, dan derajat perubahan yang terjadi pada diri siswa.
Bukti-bukti yang dikumpulkan dapat bersifat kuantitatif (dalam bentuk angka-angka), dan dapat pula bersifat kualitatif, yaitu menunjukkan kualifikasi seperti: baik sekali, baik, sedang atau cukup, rajin, cermat dan lain-lainnya. Bukti-bukti kuantitatif atau kualitatif yang dikumpulkan harus memenuhi persyaratan tertentu agar dapat dijadikan dasar pengambilan keputusah ada tidaknya perubahan perilaku serta derajat perubahan yang ada secara adil dan obyektif.
Disamping itu, masih ada beberapa point yang perlu diketahui, yaitu batasan antara evaluasi dan pengukuran. Pengertian evaluasi dan pengukuran sangat erat hubungannya, sehingga sulit untuk diterangkan perbedaan secara khas. Ada sementara orang memakai kedua istilah itu silih berganti, karena menganggap identik. Ada lagi sementara orang yang memakai kedua istilah itu sebagai yang bersifat kesinambungan. Dalam arti bahwa kegiatan pengukuran pendidikan akan dilanjutkan dengan evaluasi. Atau sebalikhya, untuk dapat melakukan penilaian sesuatu diperlukan data/bahan dari hasil pengukuran.
Oleh karenanya, pengukuran dapat dirumuskan sebagai kegiatan untuk menetapkan dengan pasti tentang luas, dimensi, atau kualitas sesuatu, dengan membandingkan dengan ukuran tertentu. Sedangkan evaluasi sebagai usaha untuk memberikan nilai terhadap hasil pengukuran tersebut.
Jika diterapkan dalam pengukuran hasil belajar, maka mengukur akan diperoleh skore tertentu, dan dengan mengevaluasi akan diintepretasikan apakah seseorang siswa yang memperoleh skore tertentu tersebut tergolong anak yang pandai atau bodoh menurut norma tertentu. Jadi misalnya si Arief memperoleh nilai 9, berarti ia telah wenguasai 90% dari keseluruhan yang dipersyarat untuk mancapai tingkat atau perilaku tertentu.
Adapun asas atau prinsip-prinsip yang dimaksudkan adalah:
Jenis evaluasi formatif dan sumatif terutama menjadi tanggungjawab guru (guru bidang studi), evaluasi penempatan dan diagmostik lebih merupakan tanggungjawab petugas bimbingan penyuluhan. Oleh karena itu wajar apabila dalam tulisan ini hanya mengaksentuasi pada jenis penilaian yang pertama dan jenis yang kedua.
Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif
Sebagai salah satu perwujudan dari usaha pembaharuan bidang pendidikan di Indonesia, ialah dibakukannya Kurikulum 1975, yang di dalamnya tersurat juga suatu pedoman guru dalam melaksanakan penilaian atau evaluasi hasil belajar siswa. Karena di atas telah disinggung bahwa evaluasi yang menjadi tanggungjawab guru bidang studi adalah evaluasi formatif dan evaluasi sumatif, maka untuk memberikan gambaran yang jelas dan tegas, berikut akan diuraikan batasan pengertian dan teknik pelaksanaannya.
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan oleh guru selama dalam perkembangan atau dalam kurun waktu proses pelaksanaan suatu Program Pengajaran Semester. Dengan maksud agar segera dapat mengetahui kemungkinan adanya penyimpang-penyimpangan, ketidak sesuaian pelaksanaan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Karena dilaksanakan setelah selesai mengajarkan satu unit pengajaran (mungkin sesuatu topik atau pokok bahasan), maka ternyata apabila ada ketidaksesuaian dengan tujuan segera dapat dibetulkan. Oleh karena itu, fungsi dari pada evaluasi ini terutama ditujukan untuk memperbaiki proses bolajar mengajar. Dan karena scope bahannya hanya satu unit pengajaran, dan dalam satu semester terdiri dari beberapa unit, maka pelaksanaan evaluasi ini frekuensinya akan lebih banyak dibanding evaluasi sumatif. Umumnya frekuensi tes formatif ini berkisar antara 2 – 4 kali dalam satu semester.
Sedangkan yang dimaksud dengan evalusi sumatif adalah evaluasi yang dilaksanakan oleh guru pada akhir semester. Jadi guru baru dapat melakukan evaluasi sumatif apabila guru yang bersangkutan selesai mengajarkan seluruh pokok bahasan atau unit pengajaran yang merupakan forsi dari semester yang bersangkutan. Oleh karena itu evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai siswa selama satu semester. Jadi fungsinya untuk mengetahui kemajuan anak didik.
Akhirnya, untuk menambah kejelasan didalam pelaksanaannya, berikut penulis rumuskan perbedaan dari kedua jenis evaluasi tersebut.
Mengingat karakteristik dari masing-masing jenis evaluasi itu, maka guna penentuan nilai akhir (misalkan nilai raport), diberikan pedoman sebagai berikut :
Jika seorang siswa misalnya si Arief dalam suatu semester mengikuti evaluasi formatif 4 (empat) kali dan hasilnya: 6, 8, 8, 10. Kemudian sewaktu mengikuti evaluasi sumatif mendapat nilai 9, maka nilai akhir Arief untuk mata pelajaran itu menjadi: dibulatkan menjadi 9,00
Jadi bukannya:
dibulatkan menjadi 8,00
Yang terakhir panduan untuk menentukan nilai akhir itu menurut Kurikulum 1984 disempurnakan menjadi:
Rumus menentukan nilai raport:
Keterangan
N = nilai raport
p = nilai rata-rata evaluasi formatif
q = nilai rata-rata kegiatan kokurikuler
r = nilai evaluasi sumatif
Nilai pada p, q, dan r belum ada pembulatan, pembulatan baru dilakukan pada N (nilai raport).
Kriteria ini lebih dikenal dengan istilah “Penilaian Acuan Patokan” atau disingkat PAP. Dan istilah ini merupakan terjemahan dari istilah asing “Criterion Referenced”. Standar ini bersifat tetap atau bahkan tidak dapat ditawar. Dalam artian bahwa kriteria keberhasilan siswa itu tidak dipengaruhi oleh prestasi suatu kelompok siswa. Apabila kita menggunakan standar ini, maka keberhasilan atau kegagalan siswa dalam mengikuti pelajaran ditentukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (sebelum evaluasi dilaksanakan). Pelaksanaan standar PAP ini dapat diberikan contoh sebagai berikut:
Misalnya untuk dapat dinyatakan lulus, siswa harus dapat menjawab dengan betul paling sedikit 70% dari pernyataan yang disediakan. Ini berarti bahwa siswa yang menjawab benar kurang dari 70% dari jumlah soal yang disediakan, dinyatatan tidak berhasil atau tidak lulus.
Langkahnya dapat didiskripsikan sebagai berikut:
Kriteria ini lebih dikenal dengan istilah “Penilaian Acuan Normal”atau disingkat PAN. Dan istilah ini merupakan alih bahasa dari istilah asing “Norm Referenced”. Berbeda dengan standar mutlak, pada standar yang relatif ini keberhasilan siswa ditentukan oleh posisinya di antara kelompok siswa yang mengikuti evaluasi. Dengan lain perkataan, bahwa keberhasilan seseorang siswa dipengaruhi oleh tempat relatifnya dibandingkan dengan prestasi rata-rata kelompok. Dengan menggunakan standar relatif, dapat terjadi bahwa siswa yang prosentasi (%) jawaban yang benar hanya 50% dapat dinyatakan lulus atau berhasil, karena kebanyakan teman-teman yang lain mencapai angka prosentasi yang lebih rendah. Sebagai contoh misalnya:
Dalam suatu kelas, ujian tulis IPS yang diikuti oleh 30 orang siswa diberikan 100 buah soal. Ternyata kebanyakan siswa hanya berhasil menjwab 56 soal dengan betul, dan dapat dinyatakan lulus. Pada kelas lain, dari 100 soal yang diujikan rata-rata siswa berhasil menjawab dengar benar 90 soal, sehingga si Badu yang berhasil menjawab dengan benar 65 soal, dinyatakan tidak berhasil atau gagal.
Dengan demikian kriteria keberhasilan masing-masing kelas tidak sama. Sehingga keberhasilan seseorang siswa baru dapat ditentukan setelah prestasi kelompoknya diketahui. Dan jenis standar ini tepat dipakai oleh guru, apabila ia akan mengetahui kedudukan siswa dalam kelompok/ kelasnya. Mengingat karakteristik dari masing-masing standar itu, dan sesuai dengan prinsip ketuntasan belajar, bahwa “pengolahan skor yang diperoleh siswa diperlakukan dengan menggunakan standar mutlak atau Penilaian Acuan Patokan (PAP)”.
Misalnya:
Item soal yang harus dikerjakan siswa adalah 40 buah. Setiap butir soal yang dapat dijawab benar oleh siswa diberi skor 1 (satu). Jadi skor maksimal yang mungkin dicapai adalah 40. Ani memperoleh skor 24. Ini berarti Ani menguasai
tujuan/bahan pelajaran, maka nilai untuk Ani adalah 6,00
tujuan/bahan pelajaran, maka Budi akan mendapat nilai 9,00
Disamping itu penulis informasikan pula, bahwa skala nilai yang dipergunakan dalam buku raport dan STTB adalah skala 0 – 10. Sehingga taraf penguasaan 60% sama dengan nilai 6,00 (enam), dan taraf penguasaan 90% sama dengan nilai 9,00 (sembilan), dan seterusnya.
Rangkuman
Atas dasar uraian-uraian sebagaimana dikemukakan di atas, dapatlah dibuatkan suatu ikhtisar yang berkenaan dengan topik BAB I sebagai berikut:
2.2. Untuk menemukan angka kemajuan hasil belajar siswa.
2.3. Untuk penjurusan.
2.4. Untuk mengenal latar belakang siswa yang mendapatkan kesulitan belajar.
3.2. Menyeluruh.
3.3. Obyektif.
3.4. Dilaksanakan dengan alat pengukur yang baik.
3.5. Deskriminatif.
4.2. Post Test
4.3. Formatif Test
4.4. Sumiatif Test
4.5. Diagnostik Test
4.6. Placement Test
Jenis test yang menjadi tanggungjawab guru bidang studi/guru fak adalah kecuali 4.5 dan 4.6 di atas.
5.2. Penilaian Acuan Norma (PAN) atau Norm Referenced.
Standar atau kriteria evaluasi yang ideal untuk dipakai di sekolah adalah standar PAP.
http://zaifbio.wordpress.com/category/evaluasi-pendidikan/
PENGERTIAN, TUJUAN, ASAS JENIS
EVALUASI BELAJAR
- A. Pengertian Evaluasi Belajar
Dilingkungan sekolah, kita melihat pula bahwa pada waktu-waktu tertentu guru selalu mengadakan evaluasi. Kenyataan yang biasa dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia sampai dewasa ini ialah bahwa pada akhir semester guru mengadakan ulangan-ulangan, pada akhir tahun mengadakan ujian-ujian kenaikan kelas, dan pada akhir kelas tertinggi pada setiap taraf atau level pendidikan, sekolah mengadakan ujian akhir (Evaluasi Belajar Tahap Akhir). Ulangan, ujian kenaikan kelas, dan evaluasi belajar tahap akhir tadi, merupakan contoh tentang evaluasi yang lazim dilaksanakan di setiap institusi pendidikan.
Kita sebagai guru umumnya memahami bahwa pendidikan adalah merupakan proses melakukan perubahan pada diri siswa. Atau secara definitif dirumuskan, bahwa pendidikan adalah “usaha sadar yang dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan siswa di dalam dan di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup”.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, kita sebagai guru berharap agar setiap program pengajaran, setiap mata pelajaran, dan bahkan setiap unit pelajaran yang kita sajikan dapat membawa perubahan yang berarti bagi diri anak didik. Siswa seharusnya mengalami perubahan perilaku setelah mengikuti pelajaran. Dan seharusnya ada perbedaan perilaku antara mereka yang mengikuti pelajaran suatu unit pelajaran atau suatu program pengajaran dengan yang tidak semestinya. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa suatu program pengajaran akan menghasilkan perubahan yang sama pada setiap siswa yang mengikutinya. Usaha untuk mengetahui ada dan tidaknya perubahan, atau tingkat perubahan yang terjadi pada diri siswa inilah yang termasuk dalam kawasan evaluasi.
Dalam hubungan ini, kita sekarang ingin menyoroti hal-hal yang berkenaan dengan evaluasi, khususnya dalam kontek dengan proses belajar mengajar, yang dilaksanakan di sekolah. Karena evaluasi merupakan salah satu proses dalam pengajaran, yang dalam batas-batas tertentu dapat merupakan indikator yang mempengaruhi perubahan perilaku siswa.
Istilah evaluasi atau penilaian adalah sebagai terjemaban dari istilah asing “evaluation”. Dan sebagai panduan, menurat Benyamin S. Bloom (Handbook on Formative and Sumative Evaluation of Student Learning) dikemukakan, bahwa:
“Evaluasi adalah pengumpulan bukti-bukti yang cukup untuk kemudian dijadikan dasar penetapan ada tidaknya perubahan dan derajat perubahan yang terjadi pada diri siswa atau anak didik”
Apabila alur fikiran yang terkandung dalam definisi itu kita ambil sebagai pegangan, maka logis apabila kita bersikap, bahwa dalam melakukan evaluasi kita sebagai guru harus yakin bahwa pendidikan dapat membawa perubahan pada diri siswa. Oleh karena itu dalam kegiatan evaluasi kita harus melakukan setidak-tidaknya dua hal yaitu:
1) Mengumpulkan bukti-bukti yang cukup;
2) Menetapkan ada tidaknya perubahan, dan derajat perubahan yang terjadi pada diri siswa.
Bukti-bukti yang dikumpulkan dapat bersifat kuantitatif (dalam bentuk angka-angka), dan dapat pula bersifat kualitatif, yaitu menunjukkan kualifikasi seperti: baik sekali, baik, sedang atau cukup, rajin, cermat dan lain-lainnya. Bukti-bukti kuantitatif atau kualitatif yang dikumpulkan harus memenuhi persyaratan tertentu agar dapat dijadikan dasar pengambilan keputusah ada tidaknya perubahan perilaku serta derajat perubahan yang ada secara adil dan obyektif.
Disamping itu, masih ada beberapa point yang perlu diketahui, yaitu batasan antara evaluasi dan pengukuran. Pengertian evaluasi dan pengukuran sangat erat hubungannya, sehingga sulit untuk diterangkan perbedaan secara khas. Ada sementara orang memakai kedua istilah itu silih berganti, karena menganggap identik. Ada lagi sementara orang yang memakai kedua istilah itu sebagai yang bersifat kesinambungan. Dalam arti bahwa kegiatan pengukuran pendidikan akan dilanjutkan dengan evaluasi. Atau sebalikhya, untuk dapat melakukan penilaian sesuatu diperlukan data/bahan dari hasil pengukuran.
Oleh karenanya, pengukuran dapat dirumuskan sebagai kegiatan untuk menetapkan dengan pasti tentang luas, dimensi, atau kualitas sesuatu, dengan membandingkan dengan ukuran tertentu. Sedangkan evaluasi sebagai usaha untuk memberikan nilai terhadap hasil pengukuran tersebut.
Jika diterapkan dalam pengukuran hasil belajar, maka mengukur akan diperoleh skore tertentu, dan dengan mengevaluasi akan diintepretasikan apakah seseorang siswa yang memperoleh skore tertentu tersebut tergolong anak yang pandai atau bodoh menurut norma tertentu. Jadi misalnya si Arief memperoleh nilai 9, berarti ia telah wenguasai 90% dari keseluruhan yang dipersyarat untuk mancapai tingkat atau perilaku tertentu.
- Tujuan Evaluasi Belajar
- Untuk memberi umpan balik (feedback) kepada guru, sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan revisi program dan remidial program bagi siswa.
- Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-masing siswa, yang antara lain diperlukan untuk memberikan laporan kepada para orang tua siswa, penetapan kenaikkan kelas, dan penentuan lulus tidaknya siswa.
- Untuk menempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar yang tepat (misalnya dalam penentuan jurusan) sesuai dengan tingkat kemampuan dan atau karakteristik lain yang dimiliki siswa.
- Untuk mengenal latar belakang (psikologi, pisik, dan lingkungan) siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar. Yang hasilnya dapat dipakai sebagai dasar untuk memecahkan kesulitan-kesulitan tersebut.
- Asas-asas Evaluasi Belajar
Adapun asas atau prinsip-prinsip yang dimaksudkan adalah:
- Evaluasi harus dilaksanakan secara terus menerus
- Evaluasi harus menyeluruh (Conprehensive)
- Evaluasi harus obyektif (Obyective)
- Evaluasi harus dilaksanakan dengan alat pengukur yang baik
- Validitas
- Reliabilitas
- Evaluasi harus deskriminatif
- Jenis-jenis Evaluasi Belajar
- Evaluasi Formatif
- Evaluasi Sumatif
- Evaluasi Penempatan
- Evaluasi Diagnostik
Jenis evaluasi formatif dan sumatif terutama menjadi tanggungjawab guru (guru bidang studi), evaluasi penempatan dan diagmostik lebih merupakan tanggungjawab petugas bimbingan penyuluhan. Oleh karena itu wajar apabila dalam tulisan ini hanya mengaksentuasi pada jenis penilaian yang pertama dan jenis yang kedua.
Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif
Sebagai salah satu perwujudan dari usaha pembaharuan bidang pendidikan di Indonesia, ialah dibakukannya Kurikulum 1975, yang di dalamnya tersurat juga suatu pedoman guru dalam melaksanakan penilaian atau evaluasi hasil belajar siswa. Karena di atas telah disinggung bahwa evaluasi yang menjadi tanggungjawab guru bidang studi adalah evaluasi formatif dan evaluasi sumatif, maka untuk memberikan gambaran yang jelas dan tegas, berikut akan diuraikan batasan pengertian dan teknik pelaksanaannya.
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan oleh guru selama dalam perkembangan atau dalam kurun waktu proses pelaksanaan suatu Program Pengajaran Semester. Dengan maksud agar segera dapat mengetahui kemungkinan adanya penyimpang-penyimpangan, ketidak sesuaian pelaksanaan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Karena dilaksanakan setelah selesai mengajarkan satu unit pengajaran (mungkin sesuatu topik atau pokok bahasan), maka ternyata apabila ada ketidaksesuaian dengan tujuan segera dapat dibetulkan. Oleh karena itu, fungsi dari pada evaluasi ini terutama ditujukan untuk memperbaiki proses bolajar mengajar. Dan karena scope bahannya hanya satu unit pengajaran, dan dalam satu semester terdiri dari beberapa unit, maka pelaksanaan evaluasi ini frekuensinya akan lebih banyak dibanding evaluasi sumatif. Umumnya frekuensi tes formatif ini berkisar antara 2 – 4 kali dalam satu semester.
Sedangkan yang dimaksud dengan evalusi sumatif adalah evaluasi yang dilaksanakan oleh guru pada akhir semester. Jadi guru baru dapat melakukan evaluasi sumatif apabila guru yang bersangkutan selesai mengajarkan seluruh pokok bahasan atau unit pengajaran yang merupakan forsi dari semester yang bersangkutan. Oleh karena itu evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai siswa selama satu semester. Jadi fungsinya untuk mengetahui kemajuan anak didik.
Akhirnya, untuk menambah kejelasan didalam pelaksanaannya, berikut penulis rumuskan perbedaan dari kedua jenis evaluasi tersebut.
Evaluasi Formatif | Evaluasi Sumatif |
Tujuannya untuk memperbaiki PBM.
| Tujuannya untuk mengetahui hasil atau tingkat kemajuan belajar siswa.
|
Jika seorang siswa misalnya si Arief dalam suatu semester mengikuti evaluasi formatif 4 (empat) kali dan hasilnya: 6, 8, 8, 10. Kemudian sewaktu mengikuti evaluasi sumatif mendapat nilai 9, maka nilai akhir Arief untuk mata pelajaran itu menjadi: dibulatkan menjadi 9,00
Jadi bukannya:
dibulatkan menjadi 8,00
Yang terakhir panduan untuk menentukan nilai akhir itu menurut Kurikulum 1984 disempurnakan menjadi:
Rumus menentukan nilai raport:
Keterangan
N = nilai raport
p = nilai rata-rata evaluasi formatif
q = nilai rata-rata kegiatan kokurikuler
r = nilai evaluasi sumatif
Nilai pada p, q, dan r belum ada pembulatan, pembulatan baru dilakukan pada N (nilai raport).
- Kriteria Evaluasi
- Standar Penilaian Yang mutlak.
- Standar Perilaian Yang Relatif.
Kriteria ini lebih dikenal dengan istilah “Penilaian Acuan Patokan” atau disingkat PAP. Dan istilah ini merupakan terjemahan dari istilah asing “Criterion Referenced”. Standar ini bersifat tetap atau bahkan tidak dapat ditawar. Dalam artian bahwa kriteria keberhasilan siswa itu tidak dipengaruhi oleh prestasi suatu kelompok siswa. Apabila kita menggunakan standar ini, maka keberhasilan atau kegagalan siswa dalam mengikuti pelajaran ditentukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (sebelum evaluasi dilaksanakan). Pelaksanaan standar PAP ini dapat diberikan contoh sebagai berikut:
Misalnya untuk dapat dinyatakan lulus, siswa harus dapat menjawab dengan betul paling sedikit 70% dari pernyataan yang disediakan. Ini berarti bahwa siswa yang menjawab benar kurang dari 70% dari jumlah soal yang disediakan, dinyatatan tidak berhasil atau tidak lulus.
Langkahnya dapat didiskripsikan sebagai berikut:
- Menetapkan kualifikasi nilai minimal yang dapat diterima, misalnya: 5,50; 6,0; atau 7,0 dan sebagainya, sebagai batas lulus atau passing grade. Atau batas kesalahan minimal yang masih dapat dimaafkan dalam suatu penilaian. Ketentuan tersebut terserah kepada guru.
- Membandingkan angka nilai (prestasi) setiap siswa dengan nilai passing grade tersebut. Secara teoritis maka mereka yang angka nilai prestasinya berada di bawah batas lulus, dinyatakan tidak berhasil.
Kriteria ini lebih dikenal dengan istilah “Penilaian Acuan Normal”atau disingkat PAN. Dan istilah ini merupakan alih bahasa dari istilah asing “Norm Referenced”. Berbeda dengan standar mutlak, pada standar yang relatif ini keberhasilan siswa ditentukan oleh posisinya di antara kelompok siswa yang mengikuti evaluasi. Dengan lain perkataan, bahwa keberhasilan seseorang siswa dipengaruhi oleh tempat relatifnya dibandingkan dengan prestasi rata-rata kelompok. Dengan menggunakan standar relatif, dapat terjadi bahwa siswa yang prosentasi (%) jawaban yang benar hanya 50% dapat dinyatakan lulus atau berhasil, karena kebanyakan teman-teman yang lain mencapai angka prosentasi yang lebih rendah. Sebagai contoh misalnya:
Dalam suatu kelas, ujian tulis IPS yang diikuti oleh 30 orang siswa diberikan 100 buah soal. Ternyata kebanyakan siswa hanya berhasil menjwab 56 soal dengan betul, dan dapat dinyatakan lulus. Pada kelas lain, dari 100 soal yang diujikan rata-rata siswa berhasil menjawab dengar benar 90 soal, sehingga si Badu yang berhasil menjawab dengan benar 65 soal, dinyatakan tidak berhasil atau gagal.
Dengan demikian kriteria keberhasilan masing-masing kelas tidak sama. Sehingga keberhasilan seseorang siswa baru dapat ditentukan setelah prestasi kelompoknya diketahui. Dan jenis standar ini tepat dipakai oleh guru, apabila ia akan mengetahui kedudukan siswa dalam kelompok/ kelasnya. Mengingat karakteristik dari masing-masing standar itu, dan sesuai dengan prinsip ketuntasan belajar, bahwa “pengolahan skor yang diperoleh siswa diperlakukan dengan menggunakan standar mutlak atau Penilaian Acuan Patokan (PAP)”.
Misalnya:
Item soal yang harus dikerjakan siswa adalah 40 buah. Setiap butir soal yang dapat dijawab benar oleh siswa diberi skor 1 (satu). Jadi skor maksimal yang mungkin dicapai adalah 40. Ani memperoleh skor 24. Ini berarti Ani menguasai
tujuan/bahan pelajaran, maka nilai untuk Ani adalah 6,00
tujuan/bahan pelajaran, maka Budi akan mendapat nilai 9,00
Disamping itu penulis informasikan pula, bahwa skala nilai yang dipergunakan dalam buku raport dan STTB adalah skala 0 – 10. Sehingga taraf penguasaan 60% sama dengan nilai 6,00 (enam), dan taraf penguasaan 90% sama dengan nilai 9,00 (sembilan), dan seterusnya.
Rangkuman
Atas dasar uraian-uraian sebagaimana dikemukakan di atas, dapatlah dibuatkan suatu ikhtisar yang berkenaan dengan topik BAB I sebagai berikut:
- Evaluasi Belajar adalah pengumpulan bukti-bukti yang cukup untuk kemudian dijadikan dasar penetapan ada tidaknya perubahan dan derajat perubahan yang terjadi pada diri siswa, setelah mengikuti proses belajar mengajar.
- Tujuan diadakan evaluasi belajar adalah:
2.2. Untuk menemukan angka kemajuan hasil belajar siswa.
2.3. Untuk penjurusan.
2.4. Untuk mengenal latar belakang siswa yang mendapatkan kesulitan belajar.
- Asas-asas evaluasi belajar adalah meliputi:
3.2. Menyeluruh.
3.3. Obyektif.
3.4. Dilaksanakan dengan alat pengukur yang baik.
3.5. Deskriminatif.
- Jenis-jenis evaluasi yang dilaksanakan di sekolah adakag:
4.2. Post Test
4.3. Formatif Test
4.4. Sumiatif Test
4.5. Diagnostik Test
4.6. Placement Test
Jenis test yang menjadi tanggungjawab guru bidang studi/guru fak adalah kecuali 4.5 dan 4.6 di atas.
- Kriteria evaluasi dapat dibedakan menjadi:
5.2. Penilaian Acuan Norma (PAN) atau Norm Referenced.
Standar atau kriteria evaluasi yang ideal untuk dipakai di sekolah adalah standar PAP.
http://zaifbio.wordpress.com/category/evaluasi-pendidikan/
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER
0 Response to "PENGERTIAN, TUJUAN, ASAS JENIS EVALUASI BELAJAR"
Posting Komentar