Aspergilosis

Aspergillosis merupakan penyakit pernafasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh adanya ganguan penafasan yang berat. Penyakit ini dapat juga menimbulkan lesi pada berbagai organ seperti pada hati, otak, dan mata (Tabbu, 2000). Istilah lain yang juga digunakan adalah Bronchomycosis, Pneumonomycosis, Brooder pneumonia dan Cytomycosis.
Hospes
Aspergillosis umumnya menyerang system pernafasan pada ayam, kalkun, bebek, angsa, merpati, kenari, kakatua, burung unta dan unggas liar atau unggas peliharaan yang lain seperti penguin, bangau, flamingo, cormorant, nuri, rajawali, burung hantu, kuau, dll. Pada ayam dan kalkun, penyakit ini dapat bersifat endemic pada suatu peternakan; pada unggas liar dapat muncul secara sporadic.
Etiologi dan Epidemiologi
Aspergilosis pada unggas terutama disebabkan oleh Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus. Organisme lain yang mungkin ditemukan sebagai penyebab Aspergilosis adalah Aspergillus terrus, Aspergillus glaucus, Aspergillus nidulans, Aspergillus niger, Aspergillusamsteolodami, dan Aspergillus nigrescens (Tabbu, 2000).
Aspergillus flavus dan Aspergillus fumigatus tidak mempunyai stadium seksual sehingga digolongkan pada famili Moniliaceae, ordo Moniliales dan kelas fungi imperfecti. Organisme tersebut tersebar luas di alam dan dapat tumbuh pada bahan-bahan yang membusuk, tanah dan bahan pakan yang berasal dari biji-bijian. Sehubungan dengan hal tersebut, maka struktur reproduksinya (konidia) dapat tersebar di udara pada berbagai lingkungan (Tabbu, 2000).
Makanan, minuman dan kandang yang terkontaminasi merupakan sumber penyebaran spora. Pada burung, aspergillosis merupakan penyakit yang menyerang saluran pernafasan bagian bawah. Meskipun biasanya organ yang terserang adalah paru-paru dan air sac, namun trakea, syrinx, dan bronchi juga dapat terserang. Infeksi dapat menyebar ke ruang peritoneum sehingga organ-organ lain juga dapat terinfeksi oleh jamur. Unggas dapat terinfeksi selama penetasan sebagai akibat dari inhalasi sejumlah besar spora yang mencemari mesin tetas atau dari litter yang terkontaminasi jamur. Pada hewan yang sudah dewasa, penyebab utama terjadinya infeksi adalah dengan inhalasi debu yang mengandung spora dari litter yang terkontaminasi atau pakan atau dari lingkungan.
Rute utama penularan aspergillosis adalah dengan menghirup spora dalam jumlah yang banyak. Penyakit ini juga dapat ditularkan melalui telur. Organisme ini dapat tumbuh di bagian dalam dari telur, sehingga dapat menyebabkan penurunan daya tetas dan peningkatan kematian embrio. Jika telur yang terinfeksi pecah dalam incubator maka anak ayam yang menetas akan kontak dengan jamur tersebut. Organisme tersebut juga dapat tumbuh di antara kerabang dan bagian luar dari selaput telur, sehingga anak ayam yang menetas dari telur yang seperti demikian akan mempunyai resiko tinggi terinfeksi aspergillosis (Tabbu, 2000).
Gejala Klinis
Infeksi memiliki masa inkubasi selama 2-5 hari. Morbiditas biasanya rendah, tetapi dapat mencapai 12 %. Mortalitas pada burung muda 5-50%. Rute utama dari penularan dapat melalui inhalasi spora dalam jumlah banyak dari lingkungan, penularan antar burung umumnya jarang terjadi. Spora sangat resisten terhadap desinfektan. Karena hampir setiap organ pada tubuh unggas dapat terserang oleh aspergillosis, gejala yang ditunjukkan sangat bervariasi. Gejala yang ditunjukkan dapat berupa gangguan pernafasan, pencernaan atau system saraf pusat dan dapat menyerang burung segala umur (McMullin, 2004).
1. Aspergilosis akut
Memiliki ciri khas yaitu menyerang burung yang masih sangat muda. Gejala yang sering tampak yaitu kehilangan nafsu makan, respirasi meningkat, kesulitan bernafas (dyspnoe), bernafas dengan mulut dengan leher dijulurkan ke atas, temperatur meningkat, lemah, ngantuk, diare berbau busuk dan kondisi cepat menurun. Konvulsi kadang-kadang terjadi dan burung yang terinfeksi akan mati dalam 24-48 jam dari timbulnya gejala (Anonimusa, 2007).
Gejala kelumpuhan dan kejang-kejang disebabkan oleh toksin dari jamur atau infeksi Aspergillus sp. pada otak. Jika aspergillosis disertai dengan penyakit pernafasan lainnya seperti CRD, IB, ILT maka akan terdengar suara ngorok yang basah. Jika hanya disebabkan oleh aspergilosis maka tidak akan terdengar gejala ngorok, yang terlihat hanya kesulitan bernafasan yang besifat kering (Tabbu, 2000). Terlihat adanya exudat mucoid berwarna putih, kongesti pada paru-paru dan air sac, serta nodul-nodul pada paru-paru (Phalen, 2007).
2. Aspergilosis kronis
Timbulnya bentuk ini sangat berbahaya dan burung yang terinfeksi dapat bertahan dalam waktu yang lama dengan status kesehatan yang menurun secara gradual. Gejala sering muncul dalam bentuk lebih ringan dari penyakit bentuk akut bersamaan dengan anemia, feses yang agak kekuningan dan suara ngorok. Penyakit kronis umumnya terjadi secara sporadic dan banyak terjadi pada burung yang sudah dewasa (Anonimusa, 2007). Gejala yang terjadi adalah kehilangan nafsu makan, lesu, bernafas dengan mulut, emasiasi, sianosis (kebiruan pada kulit daerah kepala dan jengger) dan dapat berlanjut dengan kematian. Dapat juga ditemukan gejala gangguan syaraf pada sebagian unggas (Tabbu, 2000). Perubahan pada saluran pernafasan dapat terjadi sebelum gejala klinis tampak. Kekejangan dan kelumpuhan dapat terjadi bila sistem saraf pusat terinfeksi (Phalen, 2007).
Perubahan Patologis
1. Perubahan makroskopik
Lesi awal yang terlihat meliputi noduli kaseus kecil berwarna kekuningan dengan diameter sekitar 1 mm, yang tersebar secara acak pada jaringan paru. Lesi paru biasanya disertai oleh pembentukan plaque kaseus 1 mm pada permukaan kantong udara yang menebal. Plaque terdiri atas eksudat yang berwarna kuning yang mengumpul pada daerah koloni jamur (fokus infeksi) di dalam pulmo, saluran pernafasan dan kantong udara. Noduli kaseus terdiri atas eksudat radang dan jaringan jamur. Kadang-kadang dapat ditemukan adanya asites yang tercampur cairan berwarna merah (Tabbu, 2000).
Pada kasus melanjut, plaque akan terlihat lebih besar dan meningkat jumlahnya pada permukaan kantong udara. Beberapa plaque kerap kali bersatu membentuk suatu agregat (Tabbu, 2000).
2. Perubahan mikroskopik
Lesi pada paru ditimbulkan oleh Aspergillus fumigatus ataupun Aspergillus flavus tidak menunjukan adanya perbedaan tertentu. Lesi pada stadium awal aspergillosis tersifat oleh adanya timbunanan limfosit, sejumlah makrofag dan beberapa giant cells, yang bersifat fokal. Pada stadium selanjutnya, maka lesi berkembang menjadi granuloma yang terdiri atas daerah nekrosis sentral yang mengandung heterofil dan dikelilingi oleh makrofag, giant cells, limfosit dan sejumlah jaringan ikat. Pada pengecatan khusus unutk jamur misalnya dengan metode periodic acid shift (PAS) reaction, dapat dibuktikan adanya hyphae di daerah jaringan nekrosis. Pada jaringan yang mengalami oksigenasi secara optimal , yaitu bronchi, bronkhioli dan kantong udara, maka aspergillosis dapat mengalami sporulasi secara aseksual (Tabbu, 2000).
Diagnosis
Diagnosa dari aspergillosis didasarkan atas riwayat kasus, gejala klinis, lesi spesifik dari jaringan yang terinfeksi membuktikan adanya hiphae melalui pemeriksaan mikroskopik secara langsung. Pengamatan secara langsung dengan mikroskop dapat dilakukan dari potongan kecil jaringan dari lesi yang menciri yang ditambah dengan KOH 20 % pada objek glass dan menutupnya dengan coverslip, preparat dapat dipanaskan yang akan membantu membersihkan jaringan. Apabila jaringan terlalu tebal, slide dapat diinkubasi dalam KOH 20 % selama 48 jam pada tempat yang lembab, yang selanjutnya dapat dilakukan pengamatan dengan mikroskop (Chairman et al, 1989; Tabbu, 2000). Diagnosis dengan pemeriksaan lesi secara langsung tidak selalu berhasil dan isolasi harus dilakukan untuk mengidentifikasi spesies jamur.
Metode yang paling baik untuk isolasi adalah dengan menginokulasikan potongan kecil lesi atau jaringan yang diduga mengandung aspergillus pada bagian tengah media Sabouraud glucose agar yang mengandung antibiotik. Pertumbuhan miselium biasanya dapat diamati dalam 24 jam pada suhu 37oC dan karakteristik conidiophores dapat dihasilkan dalam 2 hari (Anonimusa, 2007).
Isolasi dari aspergillus dapat dilakukan pada Plat Agar Darah, Sabouraud's Dextrose Agar, atau agar dextrose kentang. Identifikasi didasarkan pada morfologi koloni dan morfologi struktur secara mikroskopik (Chairman et al, 1989).
Penanganan
Obat yang efektif dan ekonomis untuk memberantas Aspergilosis pada unggas belum ada. Pemberian fungistat (mikostatin, mold curb, Na dan Ca propionate, Gentian violet) bersama pakan dengan/tanpa larutan 0,05% CuSO4 dalam air minum untuk menghambat pertumbuhan jamur dapat dilakukan dalam flok yang terinfeksi (Tabbu, 2000).
Untuk menghilangkan sumber infeksi, maka litter dapat disemprot dengan antiseptic, antifungal yang efektif atau dengan desinfektan yang mengandung minyak untuk mengurangi debu dan menekan aliran udara yang mengandung spora. Pada kasus berat, litter harus diganti dengan litter yang baru sebelum pengobatan dilakukan. Selain itu perlu juga dilakukan revitalisasi jaringan dengan pemberian multivitamin. (Tabbu, 2000).
Pengendalian dan Pencegahan
Pengananan biologis yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung/sumber infeksi arpergillosis. Kualitas litter dan pakan supaya dijaga secara ketat, terutama terhadap kelembaban dan pencemaran oleh jamur. Kandang dan perlengkapannya (tempat pakan, tempat minum), gudang penyimpanan pakan/bahan baku pakan, dan litter supaya disanitasi/didesinfeksi dengan bahan anti jamur seperti CuSO4. Larutan CuSO4 bersifat korosif untuk logam sehingga pemberiannya harus menggunakan bahan plastik atau gelas. Bahan yang terbuat dari logam disemprot dengan larutan Amphotericin B dan Nystatin. Pemeriksaan laboratorium terhadap kemungkinan adanya infeksi jamur harus rutin dilakukan pada peralatan dan lingkungan inkubator. Sanitasi telur perlu juga dilakukan untuk mencegah pencemaran oleh Aspergillus sp. (Tabbu, 2000; McMullin, 2004).

0 Response to "Aspergilosis"

Posting Komentar