Kisah Sarjana yang Cerdaskan Indonesia dari Sulbar



Firman Budi Kurniawan (24) memindahkan gigi sepeda motornya ke gigi satu dan menarik gas dalam-dalam. Sepeda motor bebek itu pun melaju pelan meniti jalan setapak yang menanjak hampir 45 derajat.

Suara knalpot yang tadinya menyalak tiba-tiba mengedan. Rintangan pertama dengan susah payah bisa dilalui, selanjutnya sepeda motor itu meluncur bagai roller coaster di jalan penuh batu besar.

Kami tiba satu jam kemudian di sebuah dusun tanpa listrik di tengah hutan. Di antara pepohonan hutan, berdiri rumah-rumah panggung sederhana. Inilah Dusun Beroangin, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, tempat Firman tinggal dan bertugas sebagai guru sejak dua bulan lalu.

Firman adalah sarjana Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung yang bersedia bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), sebuah gerakan nonpemerintah yang menantang para sarjana berprestasi mengabdi sebagai guru di daerah terpencil selama satu tahun.

Selain Firman, ada 50 sarjana berprestasi lainnya yang ditempatkan di pelosok dusun di Majene, Bengkalis (Riau), Tulang Bawang Barat (Lampung), Paser (Kalimantan Timur), dan Halmahera Selatan (Maluku Utara). Mereka disiapkan secara serius agar bisa hidup di daerah terpencil. Mereka juga dibekali teknik mengajar secara kreatif.

Erwin Puspitaningtyas Irjayanti (24), sarjana dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, ditempatkan di Passau. Dusun tanpa listrik itu menjorok 5 kilometer ke dalam hutan dari jalan poros Makassar-Mamuju. Rabu (19/1) malam, kami bertandang ke sana. Suasana hutan begitu meraja. Suara kera dan lolongan anjing liar terdengar bersahutan hingga tengah malam.

Meski demikian, Wiwin-begitu dia disapa-masih menikmati beberapa "kemewahan". Setidaknya, di kampung itu ada sinyal telepon dan genset milik warga. Ketika genset itu dinyalakan, Wiwin bisa menumpang mengisi baterai laptop dan telepon selulernya.

"Kemewahan" itu tidak dinikmati Agung Firmansyah (24) yang bertugas di Dusun Manyamba, Majene. Sekadar untuk menelepon atau mengisi baterai, Agung harus turun gunung sejauh 6 kilometer ke permukiman di pinggir pantai melalui jalan terjal.

Persoalan lain, tidak satu pun rumah di dusun itu yang memiliki fasilitas mandi, cuci, dan kakus. Alhasil, sarjana Ilmu Komputer Universitas Indonesia itu pun harus membiasakan diri bangun pada pagi buta untuk mandi di Sungai Manyamba, yang sampai awal tahun 1980-an masih dihuni buaya.

Dukun sakti

Kondisi alam hanya satu dari seabrek tantangan yang harus mereka taklukkan. Mereka juga harus menghadapi murid-murid yang tidak lancar membaca meski telah duduk di kelas III atau IV. Fasilitas sekolah juga amat minim.

Di tengah kondisi seperti itu, Firman mencoba membuat terobosan. Selasa (18/1) petang, ia mengajak muridnya di SD 33 Battutala mendaki bukit Beroangin yang curam. Di bukit itu, ia mengajar Bahasa Inggris. "Matahari... sun, langit... sky," kata Firman sambil menunjuk matahari dan langit yang memerah di ufuk barat.

Di kelas VI SD 27 Titibajo, Agung mengajar Matematika dengan menggunakan kartu remi sebagai alat bantu pelajaran berhitung. Pelajaran itu jadi terasa lebih mudah dan menyenangkan. Selain kartu remi, Agung kerap memanfaatkan benda-benda yang mudah ditemukan di sekitar dusun, seperti batu, pasir, kayu, sampai kompor sebagai alat peraga mata pelajaran IPA.

Tantangan lainnya, sebagian warga dusun menganggap para guru muda itu "manusia super" yang bisa melakukan apa saja. Firman beberapa kali dimintai tolong untuk mengobati orang yang digigit anjing gila. Lain waktu, dia diminta membetulkan mesin diesel, bahkan memberi nama bayi yang baru lahir. "Saya dikira dukun sakti, ha-ha-ha," ujarnya.

Wiwin pernah diminta mencari cara efektif untuk mengusir babi hutan. "Seumur-umur, baru kali ini mikirin bagaimana mengusir babi hutan," ujarnya.

Membangun mimpi

Anak-anak muda itu sebenarnya memiliki hampir semua prasyarat untuk hidup mapan di kota besar. Mereka punya prestasi akademik yang baik, jaringan, karier, dan penghasilan sangat lumayan.

Wiwin, misalnya. Sebelumnya, ia adalah karyawan sebuah bank terkemuka. Penghasilannya per bulan belasan juta rupiah, bonus tahunan puluhan juta rupiah, dan punya kesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Semua itu dia tinggalkan demi GIM.

Peserta GIM lainnya tidak kalah hebat. Sebagian ada yang bekerja di perusahaan multinasional atau telah mendapat beasiswa ke luar negeri. Lantas, mengapa mereka rela menanggalkan itu semua?

"Saya merasa, gerakan ini cocok dengan panggilan hati saya. Saya bercita-cita menjadi kaya raya agar bisa mendirikan sekolah buat orang tidak mampu. Sekarang belum kaya sudah bisa menolong," ujar Wiwin.

Soleh Ahmad Nugraha, pengajar muda di Dusun Lombang, Malunda, melihat, program ini memungkinkan dia belajar dari kearifan orang desa. "Ini (pendidikan) S-2 dari alam," ujar sarjana Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran yang menanggalkan kariernya sebagai dosen demi GIM ini.

Agung ikut GIM karena ingin hidupnya bisa menginspirasi orang lain. "Saya ingin membangkitkan mimpi tentang masa depan yang lebih baik kepada anak-anak di daerah terpencil," katanya.

Penggagas GIM, Anies Baswedan, sepakat, mimpi untuk menjadi orang terdidik harus dibangkitkan hingga ke pelosok dusun yang keberadaannya sering kali diabaikan lantaran selama ini kita terlalu berorientasi ke kota.

"Mimpi itu penting. Ketika mereka punya mimpi jadi orang terdidik, mereka akan sekolah. Dan, kita sebagai orang terdidik punya tanggung jawab menularkan virus pengetahuan kepada mereka," lanjutnya.

GIM memang belum banyak membuahkan hasil. Namun, setidaknya, kini, di sebuah dusun di tengah hutan Battutala, Aliman (32) bermimpi bisa menyekolahkan anak laki-lakinya hingga sarjana. "Dia tidak boleh bodoh seperti saya," katanya.

Sebuah mimpi yang indah....(Budi Suwarna)

0 Response to "Kisah Sarjana yang Cerdaskan Indonesia dari Sulbar"

Posting Komentar