Gelas Pecah Hasilkan Petunjuk pada Perubahan Iklim

Penelitian Kok menunjukkan bahwa rasio partikel lumpur dengan partikel tanah liat ternyata dua hingga delapan kali lebih besar daripada yang direpresentasikan dalam model iklim.

Petunjuk untuk iklim di masa depan bisa ditemukan pada gelas minum biasa yang retak. Studi yang muncul minggu ini dalam Proceedings of the National Academy of Sciences menemukan bahwa partikel mikroskopis debu, yang memancar ke dalam atmosfer ketika debu terpecah, mengikuti pola fragmen yang mirip dengan pecahan kaca dan benda-benda rapuh lainnya. Penelitian, oleh ilmuwan Jasper Kok dari Pusat Nasional Penelitian Atmosfer (NCAR), menunjukkan adanya beberapa kali lebih banyak partikel debu di atmosfer daripada yang diperkirakan sebelumnya, karena debu yang hancur ternyata menghasilkan sejumlah besar fragmen debu, jumlah yang sama sekali tak terduga.
Penemuan ini memiliki implikasi untuk memahami perubahan iklim di masa depan karena debu memainkan peran penting dalam mengontrol jumlah energi matahari  di atmosfer. Tergantung pada ukuran dan karakteristik lain, beberapa partikel debu merefleksikan energi matahari dan mendinginkan planet ini, sedangkan yang lainnya memerangkap energi sebagai panas.
“Sebagaimana ukuran mereka yang kecil, konglomerasi partikel debu di tanah berperilaku dengan cara yang sama dengan hantaman gelas yang dijatuhkan di lantai dapur,” kata Kok. “Dengan mengetahui pola ini, bisa membantu kita menyusun sebuah gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana iklim masa depan kita akan terlihat.”
Penelitian ini juga bisa meningkatkan akurasi peramalan cuaca, terutama di kawasan rawan debu. Partikel debu mempengaruhi awan dan curah hujan, serta suhu.
Penelitian ini didukung oleh National Science Foundation, yang mensponsori NCAR.

Debu partikel dalam rentang atmosfer berdiameter dari sekitar 0,1 mikron hingga 50 mikron (mikron juga dikenal sebagai mikrometer). Ukuran partikel debu menentukan bagaimana mereka mempengaruhi iklim dan cuaca, mempengaruhi jumlah energi matahari di atmosfer global serta pembentukan awan dan curah hujan yang lebih banyak di kawasan rawan debu. Gambar satelit NASA dalam ilustrasi ini menunjukkan badai debu tahun 1992 di atas Laut Merah dan Arab Saudi. (Kredit. University Corporation for Atmospheric, Komposit ilustrasi ©UCAR)
Tanah Retak
Penelitian Kok terfokus pada jenis partikel udara yang dikenal sebagai debu mineral. Partikel-partikel ini biasanya dikeluarkan ketika butiran pasir yang tertiup ke dalam tanah, menghancurkan debu dan mengirimkan fragmen ke udara. Ukuran fragmen bisa berdiameter sekitar 50 mikron, atau sekitar ketebalan sehelai rambut manusia.
Partikel terkecil, yang diklasifikasikan sebagai tanah liat dan kecilnya berdiameter 2 mikron, tetap berada di dalam atmosfer selama sekitar seminggu, banyak mengitari dunia dan mengerahkan pengaruh pendinginan dengan merefleksikan panas dari Matahari kembali ke angkasa. Partikel yang lebih besar, yang diklasifikasikan sebagai lanau, jatuh dari atmosfer setelah beberapa hari. Semakin besar partikelnya, semakin cenderung memiliki efek panas pada atmosfer.
Penelitian Kok menunjukkan bahwa rasio partikel lumpur dengan partikel tanah liat ternyata dua hingga delapan kali lebih besar daripada yang direpresentasikan dalam model iklim.
Sejak para ilmuwan iklim secara cermat menyesuaikan model untuk mensimulasikan jumlah partikel tanah liat di atmosfer, makalah ini menyarankan bahwa model-model itu kemungkinan besar meleset saat mengarah pada jumlah partikel lumpur. Sebagian besar pusaran partikel yang lebih besar di atmosfer berada di sekitar 1.000 mil kawasan gurun, sehingga menyesuaikan kuantitas mereka dalam model komputer harus menghasilkan proyeksi iklim masa depan yang lebih baik di kawasan gurun, seperti Amerika Serikat barat daya dan Afrika utara.
Penelitian tambahan diperlukan untuk menentukan apakah suhu masa depan di kawasan-kawasan tersebut akan lebih meningkat atau berkurang dari yang ditunjukkan model komputer saat ini.
Hasil studi juga menunjukkan bahwa ekosistem laut, yang menarik karbon dioksida dari atmosfer, mungkin secara substansial lebih banyak menerima besi daripada partikel udara dari perkiraan sebelumnya. Besi meningkatkan aktivitas biologis, bermanfaat bagi rantai makanan laut, termasuk tanaman yang mengambil karbon selama fotosintesis.
Selain mempengaruhi jumlah panas matahari di atmosfer, partikel debu juga terendapkan pada gunung salju, di mana mereka menyerap panas dan mempercepat pelelehan.
Kaca dan Debu: Pola Rekahan Biasa
Fisikawan telah lama mengetahui bahwa benda rapuh tertentu, seperti kaca atau batu, dan bahkan inti atom, retakan berada dalam pola yang bisa diprediksi. Fragmen yang dihasilkannya mengikuti berbagai ukuran tertentu, dengan distribusi potongan kecil, menengah, dan besar. Para ilmuwan merujuk jenis pola ini sebagai invarian skala atau kemiripan-diri.
Fisikawan telah menemukan rumus matematika untuk proses berdasarkan retakan yang mana yang merambat dengan cara yang bisa diprediksi saat suatu objek rapuh yang pecah. Kok berteori bahwa akan memungkinkan untuk menggunakan formula ini dalam memperkirakan rentang ukuran partikel debu. Dia kembali pada sebuah studi pada tahun 1983 oleh Guillaume d’Almeida dan Lothar Schüth dari Institut Meteorologi di Universitas Mainz, Jerman, yang mengukur distribusi ukuran partikel tanah gersang.
Dengan menerapkan rumus tersebut pada pola retakan benda-benda rapuh ke dalam pengukuran tanah, Kok menentukan distribusi ukuran partikel debu yang terpancarkan. Yang mengejutkan, rumus ini menggambarkan ukuran partikel debu yang nyaris sama persis.
“Sesungguhnya, gagasan bahwa semua benda ini retak dengan cara yang sama adalah sesuatu yang indah,” kata Kok. “Ini cara alami untuk menciptakan ketertiban dalam kekacauan.”

0 Response to "Gelas Pecah Hasilkan Petunjuk pada Perubahan Iklim"

Posting Komentar