Inilah kitab kuning mbah maridjan

Mbah Maridjan sudah meninggal terkena awan panas wedhus gembel Gunung Merapi saat melaksanakan shalat Maghrib di Masjid Al Amien dan jenazahnya ditemukan dalam kondisi bersujud.
Mbah Maridjan (83) juru kunci gunung Merapi itu dimakamkan di dusun Srunen, Glagahrejo, Cangkringan, Sleman, Kamis (28/10/2010) tak jauh dari tempat kediamannya yaitu dusun Kinahrejo desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan

Lelaki yang memiliki 10 anak, 11 cucu dan 6 cicit ini menepati janjinya sebagai Mas Penewu Suraksohargo ditunjuk oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai kuncen Merapi tahun 1980 meneruskan tugas ayahnya, Mbah Hargo.

Mbah Maridjan memeluk agama Islam sejak lahir dan melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya, cenderung sepaham dengan para tokoh Nahdlatul Ulama. Bahkan tahun 2006 KH Hasyim Muzadi ketua PBNU kala itu pernah memakaikan rompi khas NU sebagai pengangkatan Mbah Maridjan menjadi pengurus ranting Cangkringan.


Sebagai orang Jawa, Mbah Maridjan juga memelihara tradisi sebagaimana dulu Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam memasuki budaya Jawa untuk akulturasi merangkul masyarakat secara santun tanpa kekerasan. Dalam hal ini bisa dirujuk pada babad atau kidung yang mengisahkan sejarah penuh wewarah atau nasihat.

Demikian juga Mbah Maridjan, dalam mengisi waktu di sela sela kegiatannya sehari-hari, juga mengajarkan Kidung ini kepada anak cucunya. Kidung ini semacam syair yang berisi pujian-pujian kepada Tuhan yang dilantunkan dengan tembang (Macapat) atau dibaca biasa kemudian dimaknai untuk penerangan dan nasihat pada anak cucu.

Sularmin, cucu Mbah Maridjan begitu usai pemakaman kakeknya langsung teringat Kidung itu. Dia langsung teringat kitab Kidung yang sering diajarkan Mbah Maridjan pada cucu-cucunya.

Menurut Sularmin, kidung itu berisi syair-syair dalam bahasa Jawa sarat makna nasehat untuk melakukan kebaikan. Isi kitab itu, seringkali dibacakan di depan cucu-cucu Mbah Maridjan ketika mereka berkumpul.

"Sesekali, kalau kami (cucu mbah Marijan) sedang kumpul, Mbah minta anak-anak melingkar kemudian Mbah membaca kitab kidung," kenang Sularmin kepada tribunnews,com, Kamis (28/10/2010)

Kalau sedang membaca kitab Kidung itu, kenang Sularmin, Mbah Maridjan tampak serius. Tidak seperti biasanya yang selalu mengajak bercanda pada cucu-cucunya. Dengan Kidung itulah, Mbah Maridjan mengajarkan kepada anak cucunya hingga mampu bertahan hidup di puncak gunung Merapi dalam suasana gembira, harmonis, tenteram, rukun dan yakin berada dalam lindungan Allah. Walau suhu sangat dingin dan fasilitas kehidupan sederhana, jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

"Kami biasanya serius mendengarkan, karena Mbah terlihat serius," tambah Sularmin sambil menyantap nasi bungkus jatah makan malam.

Sayangnya, Mbah hingga meninggal, belum banyak memberikan penjelasan tentang isi syair dalam kitab pusaka itu. Lebih tragis lagi, kini cucu-cucu Mbah Maridjan terancam tidak bisa lagi membaca kitab itu karena saat wedhus gembel menyambar, kitab itu belum diketahui keberadaannya lagi.

Padahal, sepengetahuan Sularmin, Mbah Maridjan tidak menurunkan ilmu atau pusaka tertentu pada cucu-cucunya. Karena itu, kitab Kidung itu dianggap Sularmin cukup berarti sebagai warisan utama dari Mbah Maridjan. "Nanti kami akan mencarinya" tambah Sularmin.(*)

0 Response to "Inilah kitab kuning mbah maridjan"

Posting Komentar